Selasa, 26 Oktober 2010

Teori Media Massa

 Teori Media dan Teori Masyarakat Media

Beberapa asumsi dasar yang melatarbelakangi kerangka teori tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahuan tersebut membuat kita mampu untuk memetik pelajaran dari pengalaman, membentuk persepsi kita terhadap pengalamanitu, dan memperkaya khasanah pengetahuan masa lalu, serta menjamin kelangsungan perkembangan pengetahuan kita. Secara umum, dalam beberapa segi media massa berbeda dengan institusi pengetahuan lainnya (misalnya seni, agama, pendidikan, dan lain-lain) :

- Media massa memiliki fungsi pengantar (pembawa) bagi segenap macam pengetahuan. Jadi, media massa juga memainkan peran institusi lainnya.

- Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkup publik; pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum dan murah.

- Pada dasarnya hubungan antara pengirim dan penerima seimbang dan sama.

- Media menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya dan sudah sejak dahulu ”mengambil alih” peran sekolah, orang tua, agama, dan lain-lain.

Menurut asumsi dasar diatas, lingkungan simbolik di sekitar (informasi, gagasan, keperayaan, dan lain-lain) seringkali kita ketahui melalui media massa, dan media pulalah yang dapat mengaitkan semua unsur lingkungan simbolik yang berbeda. Lingkungan simbolik itu semakin kita memiliki bersama jika kita semakin berorientasi pada sumber media yang sama. Meskipun setiap individu atau kelompok memang memiliki dunia persepsi dan pengalaman yang unik, namun mereka memerlukan kadar persepsi yang sama terhadap realitas tertentu sebagai prasyarat kehidupan sosial yang baik. Sehubungan dengan itu, sumbangan media massa dalam menciptakan persepsi demikian mungkin lebih besar daripada institusi lainnya.

Asumsi dasar kedua ialah media massa memiliki peran mediasi (penegah/penghubung) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa berperan sebagai penengah dan penguhubung dalam pengertian bahwa: media massa seringkali berada diantara kita; media massa dapat saja berada diantara kita dengan institusi lainnya yang ada kaitannya dengan kegiatan kita; media massa dapat menyediakan saluran penghubung bagi pelbagi institusi yang berbeda; media juga menyalurkan pihak lain untuk menghubungi kita, dan menyalurkan kita untuk menghubungi pihak lain; media massa seringkali menyediakan baham bagi kita untuk membentuk persepsi kita terhadap kelompok dan organisasi lain, serta peristiwa tertentu. Melalui pengalaman langsung kita hanya mampu memperoleh sedikit pengetahuan.

Media juga menerima sejumlah tanggung jawab untuk ikut aktif melibatkan diri dalam interaksi sosial dan kadang kala menunjukkan arah atau memimpin, serta berperan serta dalam menciptkan hubungan dan integrasi. Konsep media sebagai penyaring telah diakui masyarakat, karena media seringkali melakukan seleksi dan penafsiran terhadap suatu masalah yang dianggap membingungkan.

Teori Konflik

Asumsi dasar

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[rujukan?] Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[rujukan?] Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.

Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya.[rujukan?] Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.[rujukan?] Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.


Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser

Sejarah Awal

Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.


Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisa konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia. Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:
Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.
Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.

Inti Pemikiran

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.  Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.


Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi.  Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.


Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. [. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.  Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.


Coser . Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok.  Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat.  Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.

Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf

Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser , seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.


Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx.  Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama.

Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas.  Diantaranya:
Dekomposisi modal

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga.
Dekomposisi Tenaga kerja

Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.
Timbulnya kelas menengah baru

Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.

Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial.  Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas. [9]

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai.  Dalam analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan.  Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki.

Teori Defusi Inovasi

       
Sejarah
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd  Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).

Tokoh
Everett m. Rogers

Asumsi dasar
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa  difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” 
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
(1)   Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
(2)   Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
(3)   Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
(4)   Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama   

Karakteristik
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents). 
Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup:
1.      Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi
2.      Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik
3.      Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.
4.      Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
5.      Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.

Kategori Adopter
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).   Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi
2.      Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi
3.      Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4.      Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
5.      Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.

Implementasi
            Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya,  teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru  dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.
Sejak  tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’ (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan  Parker (1974), yang  mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu
1.      Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
2.      Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
3.      Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
4.      Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.

Labeling Theory

Labeling Theory

oleh Aryz Al-gifary pada 22 Oktober 2010 jam 8:56
Teori pelabelan kesepakatan kenakalan remaja dengan efek dari label, atau stigma, pada perilaku remaja. Pelabelan teori menyatakan bahwa masyarakat, dengan menempatkan label pada anak-anak nakal, stigmatizes mereka, yang menyebabkan label negatif untuk anak muda untuk berkembang menjadi sebuah citra diri yang negatif. Sebuah pengadilan hukum, beberapa lembaga lain, keluarga pemuda dan pengawas, dan / atau rekan-rekan pemuda kita beri nama - atau "label" - untuk pemuda, seringkali dalam "upacara degradasi" (1). Upacara ini mungkin mendengar suspensi dengan kepala sekolah atau dekan sebuah sekolah, sebuah sidang pengadilan, atau hukuman rumah, antara lain.

Pemuda yang diberi label sebagai "penjahat" atau "nakal" dapat memegang nubuatan ini sebagai self-fulfilling - percaya label yang lain menugaskan kepada mereka, sehingga bertindak sebagai label. Seorang pemuda yang takluk pada label kemudian dapat melanjutkan untuk bertindak sebagai suatu tindakan "kriminal" atau sebagai "tunggakan," meninggalkan norma-norma sosial karena ia percaya bahwa ia adalah orang yang buruk dan bahwa ini adalah apa yang orang jahat yang seharusnya lakukan. Frank Tannenbaum menyebut pelabelan sosial yang "dramatisasi kejahatan." Dia berpendapat bahwa ini "mengubah identitas pelaku dari sebuah pelaku kejahatan dengan orang jahat." Label dapat diterapkan secara resmi, oleh lembaga-lembaga sosial (pengadilan, sekolah, dll) maupun informal, oleh kenalan seorang pemuda itu, teman sebaya, dan keluarga. Label ini dapat menjadi positif, atau negatif, dan bahkan bersosialisasi, tapi stigma yang memegang konotasi negatif dan negatif dapat mempengaruhi remaja menjadi perhatian utama teori pelabelan (1).

Self-penolakan, sendiri-nubuat memenuhi, memainkan peran dalam teori pelabelan sosial. "Self-menolak hasil sikap baik komitmen melemah terhadap nilai-nilai konvensional dan akuisisi motif menyimpang dari norma-norma sosial" (1). Rasa anomie (normlessness) set dan remaja akan membentuk ikatan dengan seperti-minded, tunggakan, rekan-rekan. Rekan ini tunggakan dapat menyebabkan "di remaja's 'penolakan rejectors." Guru bodoh; 'polisi tidak jujur;' orang tua hanya tidak mengerti "" Para pemuda bermasalah menjadi menjauhkan dari masyarakat dan menemukan dirinya dalam gaya hidup menyimpang (1).. Pada dasarnya, teori pelabelan sosial menyatakan bahwa remaja mulai percaya mereka adalah orang yang melakukan hal-hal buruk dan diubah menjadi percaya mereka adalah orang jahat.

Pertanyaan utama yang perlu diperhatikan adalah apakah label teori masuk akal: apakah itu memiliki konsistensi logis? Teori ini berpendapat bahwa ada ramalan di mana seorang remaja menjadi negatif berlabel





teori Pelabelan memiliki asal-usul dalam bunuh diri, sebuah buku oleh sosiolog Perancis Émile Durkheim. Ia menemukan kejahatan yang tidak begitu banyak pelanggaran hukum pidana karena merupakan tindakan yang outrages masyarakat. Dia adalah orang pertama yang menunjukkan bahwa label menyimpang fungsi yang memenuhi dan memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mengontrol perilaku.

Sebagai kontributor ke American Pragmatisme dan kemudian anggota Sekolah Chicago, George Herbert Mead mengemukakan bahwa diri secara sosial dikonstruksi dan direkonstruksi melalui interaksi yang setiap orang memiliki dengan masyarakat. Teori label menunjukkan bahwa orang-orang mendapatkan label dari bagaimana orang lain melihat kecenderungan mereka atau perilaku. Setiap individu menyadari bagaimana mereka dihakimi oleh orang lain karena ia telah mencoba berbagai peran dan fungsi dalam interaksi sosial dan telah mampu mengukur reaksi yang hadir.

Hal ini secara teoritis membangun konsepsi subjektif diri, tetapi yang lain menyusup ke dalam realitas kehidupan yang individu, ini merupakan data yang obyektif yang mungkin memerlukan sebuah evaluasi ulang dari konsepsi tergantung pada authoritativeness penghakiman yang lain '. Keluarga dan teman-teman dapat menilai secara berbeda dari orang asing acak. Lebih individu sosial yang representatif seperti petugas polisi atau hakim mungkin dapat membuat lebih global penilaian dihormati. Jika penyimpangan adalah kegagalan untuk mematuhi aturan-aturan yang diamati oleh sebagian kelompok, reaksi kelompok ini adalah untuk label orang memiliki tersinggung terhadap norma-norma sosial atau moral perilaku. Ini adalah kekuatan kelompok: untuk menunjuk pelanggaran aturan mereka sebagai menyimpang dan untuk memperlakukan orang secara berbeda tergantung pada keseriusan pelanggaran. Banyak perbedaan perlakuan, semakin diri individu-gambar terpengaruh.

Pelabelan kekhawatiran teori itu sendiri kebanyakan tidak dengan peran normal yang menentukan hidup kita, tapi dengan peran-peran masyarakat yang sangat khusus yang menyediakan untuk perilaku menyimpang, yang disebut peran menyimpang, peran stigma, atau stigma sosial. Peran sosial adalah satu set harapan kami miliki tentang perilaku. peran sosial yang diperlukan untuk organisasi dan fungsi dari setiap masyarakat atau kelompok. Kami berharap tukang pos, misalnya, untuk mematuhi aturan-aturan tetap tertentu tentang bagaimana dia melakukan tugasnya. "Deviance" untuk seorang sosiolog tidak berarti secara moral salah, melainkan perilaku yang dikutuk oleh masyarakat. Perilaku Deviant dapat mencakup kegiatan kriminal dan non-kriminal.

Peneliti menemukan bahwa peran menyimpang kuat mempengaruhi bagaimana kita memandang orang-orang yang ditugaskan tersebut peran. Mereka juga mempengaruhi bagaimana aktor menyimpang memandang dirinya sendiri dan hubungannya dengan masyarakat. Peran menyimpang dan label yang menyertainya berfungsi sebagai bentuk stigma sosial. Selalu melekat dalam peran menyimpang adalah atribusi dari beberapa bentuk "polusi" atau selisih yang menandai orang yang dilabeli sebagai berbeda dari orang lain. Masyarakat menggunakan peran stigma kepada mereka untuk mengontrol dan membatasi perilaku menyimpang: ". Jika Anda melanjutkan dalam perilaku ini, Anda akan menjadi anggota dari sekelompok orang"


George Herbert Mead
Salah satu pendiri interaksionisme sosial, George Herbert Mead difokuskan pada proses internal tentang bagaimana pikiran konstruksi diri seseorang-gambar. Dalam Mind, Self, dan (1934) Masyarakat [2], dia menunjukkan bagaimana bayi datang untuk mengetahui orang pertama dan hanya kemudian datang untuk mengetahui hal-hal. Menurut Mead, pikiran adalah suatu proses sosial dan pragmatis, berdasarkan model dua orang mendiskusikan bagaimana untuk memecahkan masalah. Citra diri kita, pada kenyataannya, dibangun dari ide tentang apa yang kita pikir orang lain sedang berpikir tentang kami. Sementara kita mengolok-olok orang-orang yang terlihat berbicara sendiri, mereka hanya gagal untuk melakukan apa yang sisa kita lakukan dalam menjaga percakapan internal untuk diri kita sendiri. perilaku manusia, Mead menyatakan, adalah hasil dari makna yang diciptakan oleh interaksi sosial dari percakapan, baik yang nyata dan imajiner.
Frank Tannenbaum
Frank Tannenbaum dianggap sebagai kakek dari pelabelan teori. Kejahatan Nya dan Masyarakat (1938) [3], menggambarkan interaksi sosial yang terlibat dalam kejahatan, dianggap sebagai landasan penting kriminologi modern. Sementara kriminal berbeda sedikit atau tidak sama sekali dari orang lain dalam impuls asli untuk pertama melakukan kejahatan, account interaksi sosial untuk tindakan lanjutan yang mengembangkan pola yang menarik bagi sosiolog.
Kerry Townsend menulis tentang revolusi dalam kriminologi akibat kerja Tannenbaum's:

    "Akar dari model teoritis Frank Tannenbaum, yang dikenal sebagai" dramatisasi kejahatan "atau teori pelabelan, permukaan di pertengahan sampai akhir tiga puluhan Pada saat ini,. Perundang-undangan 'New Deal' tidak mengalahkan kesengsaraan Depresi Besar , dan, meskipun berkurang, imigrasi ke Amerika Serikat lanjutan (Sumner, 1994) [4] iklim sosial adalah salah satu dari kekecewaan dengan pemerintah Struktur kelas adalah salah satu isolasionisme budaya;... relativitas budaya belum diambil terus ' masih adanya struktur kelas, meskipun reformasi kesejahteraan dan kontrol atas bisnis besar, adalah salah lagi '. [5] Sekolah Positivis dari kriminologi pikir masih dominan, dan di banyak negara, gerakan sterilisasi sedang berlangsung. Penekanan pada determinisme biologis dan penjelasan internal kejahatan adalah kekuatan unggul dalam teori dari awal tiga puluhan ini dominasi oleh Sekolah Positivis berubah. di akhir tiga puluhan dengan pengenalan dan penjelasan konflik sosial dari kejahatan dan kriminalitas ...

    "Salah satu prinsip utama teori ini adalah untuk mendorong akhir proses pelabelan. Dalam kata-kata dari Frank Tannenbaum," jalan keluar adalah melalui penolakan untuk menunjukan "jahat, sistem peradilan mencoba untuk melakukan hal ini melalui program-program pengalihan. Pertumbuhan teori dan aplikasi saat ini, baik secara praktis dan teoritis, memberikan dasar yang kuat untuk popularitas lanjutan "[6].:



Edwin Lemert             Itu adalah sosiolog Edwin Lemert (1951) yang memperkenalkan konsep "penyimpangan sekunder." Penyimpangan utama adalah pengalaman terhubung ke perilaku terbuka, mengatakan kecanduan obat dan tuntutan praktis dan konsekuensi. penyimpangan sekunder adalah peran yang diciptakan untuk menangani dengan kutukan masyarakat perilaku.

Dengan sosiolog lain waktu, ia melihat bagaimana semua tindakan menyimpang adalah tindakan sosial, hasil dari kerjasama dari masyarakat. Dalam mempelajari kecanduan narkoba, Lemert mengamati kekuatan yang sangat kuat dan halus di tempat kerja. Selain kecanduan fisik pada obat dan semua gangguan ekonomi dan sosial yang ditimbulkannya, ada proses sangat intelektual di tempat kerja mengenai identitas sendiri dan pembenaran untuk perilaku: ". Aku melakukan hal-hal karena saya dengan cara ini"

Mungkin ada motif subjektif dan pribadi tertentu yang pertama mungkin menyebabkan seseorang untuk minum atau menguntil. Tetapi kegiatan itu sendiri memberitahu kita sedikit tentang citra diri seseorang-atau hubungannya dengan aktivitas. Lemert menulis: "perbuatan-Nya yang berulang dan teratur subjektif dan ditransformasikan ke dalam peran aktif dan menjadi kriteria sosial untuk menetapkan status ..... Ketika seseorang mulai mempekerjakan perilaku menyimpang nya atau peran berdasarkan itu sebagai alat pertahanan, serangan, atau penyesuaian untuk terbuka dan masalah rahasia yang diciptakan oleh reaksi masyarakat akibat kepadanya, penyimpangan nya adalah sekunder "[7]

Howard Becker
Sementara itu Lemert yang memperkenalkan konsep-konsep kunci dari teori pelabelan, itu adalah Howard Becker yang menjadi juara mereka. Dia pertama kali mulai menggambarkan proses bagaimana seseorang mengadopsi peran menyimpang dalam studi musisi tari, dengan siapa ia pernah bekerja. Ia kemudian mempelajari pembentukan identitas perokok ganja. Penelitian ini adalah dasar dari Outsiders yang diterbitkan pada tahun 1963. Karya ini menjadi manifesto gerakan teori pelabelan antara sosiolog. Dalam pembukaannya, Becker menulis:
    "... Kelompok sosial menciptakan penyimpangan dengan membuat aturan yang menciptakan pelanggaran penyimpangan, dan dengan menerapkan peran-peran kepada orang-orang tertentu dan label mereka sebagai orang luar. Dari sudut pandang ini, penyimpangan bukan kualitas dari tindakan orang yang melakukan, melainkan konsekuensi dari aplikasi dengan lain dari aturan dan sanksi ke 'pelaku. " menyimpang ini adalah salah satu kepada siapa label yang telah berhasil diterapkan;. perilaku menyimpang adalah perilaku bahwa begitu label "[8]

Sementara masyarakat menggunakan label stigma untuk membenarkan kecaman nya, aktor menyimpang menggunakannya untuk membenarkan tindakannya. Dia menulis: "Untuk meletakkan sebuah argumen kompleks dalam beberapa kata: bukan motif menyimpang yang mengarah ke perilaku menyimpang, itu adalah sebaliknya, perilaku menyimpang dalam waktu menghasilkan motivasi menyimpang." [9]


Teori Norma Budaya ( Norm and Cultural Theory)

  Teori Norma Budaya ( Norm and Cultural Theory)
Tokoh
Melvin Defleur
Sejarah
Dalam teori yang di perkenalkan oleh Melvin DeFleur ini menyebutkan media massa melalui program tertentu dapat menguatkan budaya atau bahkan sebaliknya media massa menciptakan budaya baru dengan caranya sendiri. Penekanan media pada program siaran tertentu akan membuat masyarakat menganggap penting dan mengikuti tindakan-tindakan seperti yang di tampilkan di media tersebut.
Asumsi dasar
Media massa melalui informasi yang disampaikannya dengan cara-cara tertentu dapat menimbulkan kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma dan nilai-nilai budayanya. Media massa mempengaruhi budaya-budaya masyarakatnya dengan cara :
Pesan-pesan yang disampaikan media massa memperkuat budaya yang ada. Ketika suatu budaya telah kehilangan tempat apresiasinya, kemudian media massa memberi lahan atau tempat maka budaya yang pada awalnya sudah mulai luntur menjadi hidup kembali.
Contoh : Acara pertunjukan Wayang Golek atau Wayang Kulit yang ditayangkan Televisi terbukti telah memberi tempat pada budaya tersebut untuk diapresiasi oleh masyarakat.
Media massa telah menciptakan pola baru tetapi tidak bertentangan bahkan menyempurnakan budaya lama.
Contoh : Acara Ludruk Glamor misalnya memberi nuansa baru terhadap budaya ludruk dengan tidak menghilangkan esensi budaya asalnya.
Media massa mengubah budaya lama dengan budaya baru yang berbeda dengan budaya lama.
Contoh : Terdapat acara-acara tertentu yang bukan tak mungkin lambat laun akan menumbuhkan budaya baru.
Menurut Paul Lazarfeld dan Robert K Merton terdapat empat sumber utama kekhawatiran masyarakat terhadap media massa, yaitu :
Sifat Media Massa yang mampu hadir dimana-mana (Ubiquity) serta kekuatannnya yang potensial untuk memanipulasi dengan tujuan-tujuan tertentu
Dominasi kepentingan ekonomi dari pemilik modal untuk menguasai media massa dengan demikian media massa dapat dipergunakan untuk menjamin ketundukan masyarakat terhadap status quo sehingga memperkecil kritik sosial dan memperlemah kemampuan khalayak untuk berpikir kritis.
Media massa dengan jangkauan yang besar dan luas dapat membawa khalayaknya pada cita rasa estetis dan standar budaya populer yang rendah.
Media massa dapat menghilangkan sukses sosial yang merupakan jerih payah para pembaharu selama beberapa puluh tahun yang lalu.
Karakteristik
Menurut teori ini komunikasi massa memiliki efek yang tidak langsung atas perilaku melalui kemampuannya dalam membentuk norma-norma baru. Norma-norma ini berpengaruh terhadap pola sikap untuk pada akhirnya akan mempengaruhi pola-pola perilakunya. Media massa melalui penyajiannya yang selektif dan menekankan pada tema-tema tertentu mampu menciptakan kesan yang mendalam pada khalayaknya, ketika norma-norma budaya yang mengenai topik-topik yang ditekankan itu disusun dan diidentifikasikan dengan cara-cara tertentu. Karena perilaku individu biasanya terbina melalui norma-norma budaya dengan cara memperhatikan topik atau situasi yang diberikan, maka media massa akan bertindak secara tidak langsung dalam mempengaruhi perilaku. Melalui keempat pendekatan itu diperoleh bukti-bukti penelitian yang menyatakan, komunikasi massa mempunyai efek-efek yang cukup besar setidak-tidaknya tidak sekecil menurut model efek terbatas. Bahwa model efek terbatas sampai pada kesimpulannya yang demikian tentang efek komunikasi massa, khususnya dalam mengubah sikap dan prilaku adalah disebabkan oleh faktor berikut:
·          Kegiatan penelitiannya banyak ditekankan kepada usaha untuk mencari efek komunikasi massa atau sikap dan opini responden
·          Riset-riset mereka sifatnya masih cenderung one –sided
·          Penelitian mereka lebih ditekankan pada efek jangka pendek dan hampir melupakan efek-efek jangka panjang.
Implementasi
Contoh yang terjadi di Indonesia adalah kasus Ny. Lia Marfiandi. Ibu muda ini terkejut saat melihat anaknya yang berusia delapan tahun memecahkan piring dan gelas secara tiba-tiba. Bahkan, sang anak tidak merajuk atau lain sebagainya. Sang anak ini mengaku melihat tampilan Joshua dalam sinetron Anak Ajaib. Sehingga, dia melakukan pemecahan piring, gelas dan pas bunga sambil tertawa terbahak-bahak.
Sumber
McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta. Erlangga.

Teori Sistem

Teori Sistem

Sejarah:
Scott (1961) mengatakan bahwa “satu-satu nya cara yang bermakna untuk mempelajari organisasi …. Adalah sebagai suatu system” (hal. 15). Ia mengatakan bahwa bagian-bagian penting organisasi sebagai sistem adalah individu dan kepribadian setiap orang dalam organisasi; struktur formal; polal interaksi yang informal; pola status dan peranan yang menimbulkan pengharapan-pengharapan; dan lingkungan fisik pekerjaan. Bagian-bagian inilah yang merupakan konfigurasi yang disebut sistem organisasi.semua bagian saling berhubungan dan berinteraksi antara satu dengan yang lain.
Konsep sistem berfokus pada pengaturan bagian-bagian, hubungan antara bagian-bagian, dan dinamika hubungan tersebut yang menumbuhkan kesatuan. Teoretisi sistem umum (Bertalanffy, 1998; Boulding, 1965; Rapoport, 1968) mengidentifikasikan beberapa prinsip yang berlaku bagi semua jenis sistem. Yakni mesin, organism, dan organisasi memiliki proses serupa dan dapat diuraikan dengan prinsip-prinsip yang sama. Sependapat dengan Fisher (1978) bahwa teori sistem adalah seperangkat prinsip yang terorganisasikan secara longgar dan sangat abstrak, yang berfungsi mengarahkan pikiran kita namun terikat pada berbagai penafsiran” (hal.196). Setiap pembahasan mengenai teori sistem menyangkut interdependensi yang menunjukkan bahwa terdapat suatu kesalingbergantungan di antara komponen-komponen suatu sistem.
1. Nonsumativitas. Menunjukkan bahwa suatu sistem tidak sekadar jumlah dari bagian-bagiannya. Misalnya, apa yang mungkin dikembangkan dua orang lewat interaksi berbeda dengan yang mungkin timbul dengan menjumlahkan perilaku kedua orang tersebut.
2. Unsur-unsur struktur, fungsi, dan evolusi. Struktur merujuk pada hubungan antarkomponen suatu sistem. Fungsi atau tindakan dan perilaku, merupakan sarana mendasar untuk mengidentifikasi orang-orang dalam suatu sistem social. Evolusi suatu sistem, atau perubahan dan bukan perubahan dalam suatu sistem sejalan dengan berlakunya waktu, mempengaruhi baik unsure fungsional maupun unsure structural, dan kerumitan suatu sistem berhubungan dengan sejauh mana unsure-unsur fungsional dan structural bervariasi.
3. Keterbukaan. Organisasi adalah sistem social. Sistem terbuka ditandai dengan equifinalitas, yang berarti bahwa “Keadaan akhir yang sama dapat dicapai dari kondisi-kondisi yang berbeda dan dengan cara-cara yang berbeda” (Bertalanffy, 1968, hal. 40).
4. Hirearki. Suatu sistem merupakan suatu suprasistem bagi sistem-sistem lain di dalamnya, juga merupakan suatu subsistem bagi suatu sistem yang lebih besar.

Teori Sistem Sosial Katz dan Kahn
Tokoh: Katz dan Kahn
Sejarah:
Teori-teori klasik dan perilaku sering merujuk pada komunikasi terutama dalam kaitannya denganm bentuk-bentuk kegiatan komunikasi alih-alih sebagai suatu proses penghubung . hal ini akan mempunyai arti apabila kita menerima pendapat Katz dan Kahn bahwa struktur social berbeda dengan struktur mekanis dan struktur biologis. Bila suatu sistem social berhenti berfungsi, ia tidak lagi mempunyai struktur yang dapat diidentifikasi. Sebabnya adalah karena sistem social merupakan sturktur peristiwa alih-alih merupakan bagian-bagian fisik, dan tidak mempunyai struktur yang terpisah dari kegiatannya.kita sering terhambat untuk memahami perbedaan yang hakiki antara sistem social dan sistem biologis.
Secara ringkas, Scitt (1961) mengatakan bahwa “organisasi terdiri dari bagian-bagian yang berkomunikasi antara yang satu dengan yang lainnya , menerima pesan-pesan dari luar, dan menyimpan informasi. Funsi komunikasi bagian-bagian ini sekaligus merupakan konfigurasi yang menggambarkan sistem secara keseluruhan” (hal. 18). Hawes,(1974) mengatakan bahwa “Suatu kolektivitas social adalah perilaku komunikatif yang terpolakan; perilaku komunikatif tidak terjadi dalam suatu jaringan hubungan, tetapi merupakan jaringan itu sendiri” (hal. 500)





Asumsi Dasar:
Suatu sistem social, secara keseluruhan, terdiri dari manusia-manusia . ia tidak empurna, namun kesinambungan hubungan manusianya begitu baik. Hubungan orang-orang, bukan orang-orang itu sendiri, memungkinkan suatu organisasi bertahan jauh lebih lama daripada orang-orang biologis yang menduduki jabatan-jabatan dalam organisasi.
Katz dan Kahn menjelaskan bahwa kebanyakan interaksi kita dengan orang merupakan tindakan komunikatif (verbal dan nonverbal, berbicara dan diam). “Komunikasi—pertukaran informasi dan transmisi makna—adalah inti suatu sistem social atau suatu organisasi” (hal. 223). Mereka menyatakan bahwa adalah mungkin untuk menggolongkan bentuk-bentuk interaksi social seperti “penggunaan pengaruh, kerjasama, penularan social atau peniruan, dan kepemimpinan” ke dalam konsep komunikasi (hal. 224).
Teori sistem menyadari bahwa suatu keadaan yang terorganisasikan perlu mengenal berbagai hambatan untuk mengurangi komunikasi acak ke saluran-saluran yang sesuai untuk pencapaian tujuan organisasi. Pengembangan organisasi, misalnya, mungkin perlu menciptakan saluran-saluran komunikasi baru. Katz dan Kahn berpendapat bahwa “watak suatu sistem social … mengisyaratkan selektivitas saluran dan tindakan komunikatif—suatu mandate untuk menghindari sebagian saluran dan tindakan komunikatif dan menggunakan yang lainnya” (hal. 226).

Teori Antropological dan Pendekatan Simbolis

Teori Antropological dan Pendekatan Simbolis

Pacanowsky dan O'Donnell-Trujillo (1982.1983) mulai belajar untuk mempelajari banyak komunikasi organisasi sebagai antropologi. Mereka menggunakan wawancara, audio dan videotapes, dan observasi pada anggota organisasi untuk memahami berbagai persepsi, mereka menggunakan matapora kinerja untuk tindakan manusia. Anggota organisasi dianggap seperti aktor, bermain berbagai peran dalam berbagai kelompok. Misalnya, orang yang sama mungkin menjadi pelayan toko, seorang manajer, seorang bawahan, dan anggota tim perusahaan golf. Peran in akan berbeda tergantung dengan situasi di mana anggota organisasi menemukan sendiri. Kita akan mengalami hipotesis berbeda sebagai pelayan, atau sebagai manajer dan sebagai subordinat pemimpin yang berbicara.
Perasaan lain dari drama metapora dari perutunjukan layar menunjukkan bahwa pekerja mereka dilihat dari kenyataan untuk diri sendiri dan orang lain melalui tindakan mereka, termasuk komunikasi. misalnya, sebagai pelayan yang memberikan perintah pada bawahannya. Komunikasi ini dapat dilihat sebagai suatu "kinerja" yang menguak pelayan dari realitas sosial sebagai symbol hierarki dalam kegiatan yang berhubungan dengan atasan dan bawahannya yang tepat. Dengan berkomunikasi, pramuniaga yang menyatakan bahwa dia adalah pemimpin dan memiliki kewenangan untuk memberikan perintah yang lain dan harus dilakukan. (Trujillo, 1983)
Hal semacam ini memungkinkan Pacanowsky dan analisis O'Donnell-Trujillo (1983) untuk belajar budaya dari perbedaan bisnis ada menggambarkan pendekatan itu. Dua teori budaya populer dari ilustrasi bisnis yang memiliki perbedaan dan aspek yang akan diteliti. Peters dan Waterman (1982) memeriksa 62 organisasi bisnis yang bagus di berbagai industri dan mereka telah menemukan delapan tema dalam budaya umum;
1. organisasi yang baik memiliki bias terhadap tindakan daripada perencanaan dan analisa.
2. mereka tetap dekat dengan pelanggan, mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka.
3. tidak menekankan tradisi dan birokrasi, organisai yang baik akan mendorong anggota organisasi untuk mengambil tanggung jawab individu untuk memecahkan masalah dan usulan baru untuk kegiatan organisasi. mereka menekankan otonomi dan inisiatif.
4. menekankan keprihatinan karyawan sebagai anggota dari organisasi "keluarga". Organisasi yang baik menekankan produktivitas melalui orang-orang.
5. mereka menekankan tanggung jawab, value-driven kegiatan. organisasi-organisasi ini memilih kegiatan sesuai dengan nilai-nilai organizasional. akan mendorong para manajer untuk menggunakan "tanggung jawab" pendekatan, yang akan berhubungan dengan bagaimana pekerja melaksanakan pekerjaan mereka sehari-hari dan apa masalah dan keberhasilan mereka.
6. organisasi yang baik tidak menyamakan menjadi daerah bisnis di mana mereka tidak memiliki keahlian: bukan, mereka menemukan apa yang terbaik dan organisasi tidak menekankan jenis kegiatan ini. mereka tetap mereka knitting.
7. mereka mempertahankan bentuk yang sederhana dan pekerja yang berkualitas.
8. menunjukkan kehilangan kesamaan dan property yang ketat. para anggotanya sangat bersatu melalui nilai-nilai bersama dan aksi (ketat properti), tetapi organisasi masih cukup fleksibel untuk mengubah bila diperlukan (longgar properti).

Deal dan Kennedy (1982) merekomendasikan bahwa organisasi menciptakan budaya yang kuat agar berhasil. Mereka mengidentifikasi empat aspek penting budaya organisasi: nilai-nilai, pahlawan, dan upacara-upacara ritual, budaya dan komunikasi jaringan.
1. kepercayaan adalah nilai-nilai bersama tentang organisasi dan apa yang baik untuk itu. Materi perizinan perguruan tinggi seperti viewbooks membantu mengidentifikasi nilai-nilai calon siswa dari berbagai sekolah: misalnya, atletik mungkin sangat penting di sekolah tetapi prestasi artistik mungkin lebih dihargai oleh teman menghadiri sebuah universitas.
2. pahlawan adalah anggota organisasi yang berfungsi sebagai contoh yang bertindak keluar organisasi nilai-nilai penting. di beberapa sekolah, mungkin pahlawan anggota tim atletik yang telah sukses karir olahraga profesional. lainnya di shools, pahlawan mungkin famouse ilmuwan, filosof, atau pejabat pemerintah.
3. upacara-upacara ritual dan upacara yang penuh dengan simbolisme untuk organisasi anggota. organisasi ini melakukan upacara untuk merayakan nilai-nilai dan mereka influnce anggota baru untuk menerima mereka. Kelulusan dan klub sosial initations adalah contoh dari upacara-upacara dan ritual di perguruan tinggi.
4. Budaya jaringan komunikasi informal komunikasi yang membawa informasi tentang nilai-nilai. pahlawan, dan upacara-upacara dan ritulas ke anggota organisasi. sebelum Anda memilih perguruan tinggi atau besar, Anda probablu mendengarkan cerita diberitahu oleh teman-teman yang telah hadir sekolah dan kelas-kelas yang berbeda. teman-teman ini adalah bagian dari budaya komunikasi jaringan.

Pacanowky dan O'Donnell-Trujillo, namun tidak fokus pada budaya sebagai obyek statis tetapi pada proses di mana sebuah organisasi memunculkan komunikasi dengan budaya. Dengan menggunakan metode yang dijelaskan sebelumnya, teori ini meneliti topik seperti itu sebagai organisasi yang relevan membangun, kenyataannya, praktik, kosa kata, metafor, cerita, dan upacara-upacara dan ritual. Dengan melalui melalui berbagai kegiatan, teori dapat mencari apa organisasi bersama-sama melihat kenyataan ini dan bagaimana ia dibuat dan dipelihara.
misalnya, seandainya antropologi dari budaya lain datang ke universitas. jika mereka ingin memahami apa yang akan mereka constructs perlu memahami?

Sumber:

Building Communication Theory Halaman 369